Pontianak - Gubernur Kalimantan Barat H. Sutarmidji mengatakan pengerukan muara Sungai Kapuas sebagai solusi jangka pendek dalam upaya penanganan banjir di Kalimantan Barat. "Pengerukan muara Sungai Kapuas sangat mendesak untuk dilakukan. Karena, sedimentasi yang terjadi sudah semakin tinggi," ujarnya, pada Webinar yang diselenggarakan YNKI dan Mongabay Indonesia.
Menurut orang nomor satu di Kalimantan Barat ini, saat ini kedalaman muara Sungai Kapuas pada saat air surut diperkirakan hanya sekitar 3,4 meter yang dulu kalau air surut terendah masih bisa mencapai 6,5 meter, jadi dibandingkan dalam waktu sekian tahun yang lalu sudah berkurang sekitar 2,5 lebih sedimentasinya. "Sedimentasi ini terjadi karena sejak empat tahun yang lalu, tidak ada pengerukan alur Muara Sungai Kapuas. Karena empat tahun lalu pengerukan ini dilakukan oleh Pelindo, kemudian dialihkan Kementerian Perhubungan, sejak dialihkan ini tidak pernah dilakukan pengerukan sekali pun," ujarnya.
Midji sapaan akrab Sutarmidji melanjutkan untuk tahun ini pengerukan dipindahkan lagi ke Pelindo. "Akan tetapi karena core bisnis Pelindo tidak lagi Pelabuhan Dwikora dan sudah banyak ke Pelabuhan Kijing. Jika 2 atau 3 tahun lagi tidak dilakukan pengerukan, maka air tidak lagi mengalir jauh ke laut, yang akhirnya tetap di daratan, inilah salah satu penyebab banjir yang lambat surut," ujarnya.
Kemudian masalah resapan air, yang katanya Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah 70 persen sudah rusak. "Kita seharusnya selain melakukan penanaman kembali, perbaikan lingkungan, kita juga harus memperhatikan penyebab sedimentasi," ujarnya.
Sutarmidji mengatakan untuk mengatasi banjir jangka pendek, maka dirinya agak beda pendapat dengan Menteri PUPR dengan memasang geobag, dan ia mengingikan pengerukan. "Makanya ada pihak mempertanyakan apa hubungan banjir di Sintang dengan pengerukan di Muara Sungai Kapuas yang jaraknya begitu jauh, akan tetapi kembali lagi yang saya sampaikan bahwa air ini pasti mengalir jauh akhirnya ke laut, kalau pintunya atau mulutnya sumbat, bagaimana mau mengalir, untuk itu pengerukan sangat diperlukan," harapnya.
Sementara itu Pakar Hidrologi dan Ekologi Lanskap, Prof. Dr. Henny Herawati, ST, MT, mengatakan memang benar bahwa air hujan tersebut mengalirnya jauh sampai ke laut, dan kembali lagi ke hulu setelah melalui proses evaporasi, sebenarnya mau tidak mau bahwa siklus hidrologi memang demikian adanya.
Menurut Prof Henny, parameter yang mempengaruhi ketersediaan air di sungai ada tiga yakni, pertama Koefisien Limpasan berdasarkan jenis tanah, tutupan lahan dan pengolahan lahan. Kemudian kedua, intensitas curah hujan meliputi jumlah hujan, durasi dan frekwensi hujan. Dan ketiga, luas tangkapan hujan. Dari ketiga parameter ini, yang terjadi saat ini adalah perubahan jenis tutupan lahan. Dengan intensitas hujan yang tinggi dan juga seolah-olah besaran hujan tinggi menjadi sering terjadi, sehingga probalitasnya berubah dari 1 % menjadi 5%, hal ini menyebabkan banjir lebih sering terjadi, walaupun dengan hujan yang tidak ekstrim." ujar akademisi Universitas Tanjungpura ini.
Prof Henny juga menyampaikan bahwa pernyataan Gubernur Kalbar Sutarmidji, sangat betul sekali bahwa pada akhirnya air tersebut mengalir jauh ke laut. "Air tersebut tidak diinginkan serta merta mengalir ke sungai, kemudian mengalir ke laut. Akan tetapi air tersebut harus masuk dulu ke dalam tanah, kemudian secara perlahan-lahan mengalir ke laut, dan kembali lagi," ujarnya.
Ia mengatakan kalau terjadi banjir, bukan berarti air tersebut segera dibawa keluar dari daerah aliran sungai, akan tetapi dalam hal ini bagaimana mengelola air di daerah aliran sungai. "Sehingga tidak berarti, ketika kita ada kelebihan air saat hujan harus segera dibuang, karena air tersebut diperlukan saat musim kering. Kekeringan adalah kondisi kebalikan dari banjir yang kondisi kekurangan air yang sering terjadi pada musim kemarau yang panjang, maka perlu adanya keseimbangan air di dalam DAS, ini dua hal yang tidak bisa kita pisahkan," ujar Dosen Teknik Sumber Daya Air di Fakultas Teknik Untan ini.
Kemudian Prof Henny juga setuju dengan ungkapan Gubernur, bahwa harus melihat titik-titik dimana pertemuan sungai tersebut berada. "Kita tidak bisa memungkiri bahwa dalam kurun waktu 50 tahun memang curah hujan meningkat, ini adalah rata-rata tahunan, jika kita melihat data hujan dari tahun 1970an, sehingga tentu perlu dilakukan melakukan kajian-kajian terhadap pertemuan sungai dan anak sungai" ujarnya.
Prof Henny juga menjelaskan bahwa banjir ini adalah peristiwa meluapnya muka air sungai akibat aliran sungai yang relatit tinggi dan tidak lagi tertampung oleh penampang sungai yang ada. "Banjir merupakan limpasan yang berasal dari curah hujan dalam jumlah yang relatif besar, yang tidak mampu ditampung dalam alur sungai secara normal," ujarnya.
Henny mengungkapkan upaya yang perlu dilakukan dalam penanganan banjir ini adalah satu sungai satu rencana, satu sistem terpadu, menyeluruh dan terus menerus, perlu melakukan evaluasi terhadap dampak konversi lahan sesuai tupoksi dimiliki. Selain itu melakukan penanaman kembali pada lahan-lahan yang tidak efektif tanam, serta perlu melakukan penegakan hukum yang tegas.
Henny menambahkan beradaptasi terhadap lingkungan serta upaya pencegahan. "Memberikan edukasi sehingga dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan, sinergitas antara stakeholder termaasuk Perguruan Tingggi dan masyarakat untuk mencari solusi dalam penanganan dan pengendalian banjir," ujarnya.
Disela-sela acara Webinar memahami kondisi lanskap sub DAS Ketungau, Melawi dan Hulu Kapuas dan Dampak pada Banjir Sintang tersebut, Prof Henny mewakili warga dari Nanga Silat Hilir- Kapuas Hulu, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Gubernur Kalbar atas bantuan speed boad. "Bantuan speed boad yang melalui Rumah Zakat sudah diterima oleh warga di Kecamatan Nanga Silat Hilir, persisnya di Bantaran Sungai Kapuas," ucap Henny yang mengaku putra kelahiran Nanga Silat Hilir.
Penulis : Marupek
No comments:
Post a Comment